 |
gapura kantor Kabupaten Blora
|
|
Kabupaten Blora : adalah
kabupaten di
Provinsi Jawa Tengah. Ibukotanya adalah
Blora, sekitar 127 km sebelah timur
Semarang. Berada di bagian timur Jawa Tengah, Kabupaten Blora berbatasan langsung dengan Provinsi
Jawa Timur.
Kabupaten ini berbatasan dengan
Kabupaten Rembang dan
Kabupaten Pati di utara,
Kabupaten Tuban dan
Kabupaten Bojonegoro (
Jawa Timur) di sebelah timur,
Kabupaten Ngawi (Jawa Timur) di selatan, serta
Kabupaten Grobogan di barat.
Blok Cepu, daerah penghasil minyak bumi paling utama di Pulau Jawa, terdapat di bagian timur Kabupaten Blora.
Pembagian administratif
Kabupaten Blora terdiri atas 16
kecamatan, yang dibagi lagi atas sejumlah 271
desa dan 24
kelurahan. Pusat pemerintahan berada di Kecamatan
Blora.
Di samping Blora, kota-kota kecamatan lainnya yang cukup signifikan adalah
Cepu,
Jiken,
Ngawen, dan
Randublatung.
Geografi
Hutan jati di Kabupaten Blora
Wilayah Kabupaten Blora terdiri atas dataran rendah dan perbukitan
dengan ketinggian 20-280 meter dpl. Bagian utara merupakan kawasan
perbukitan, bagian dari rangkaian
Pegunungan Kapur Utara. Bagian selatan juga berupa perbukitan kapur yang merupakan bagian dari
Pegunungan Kendeng, yang membentang dari timur Semarang hingga
Lamongan (Jawa Timur). Ibukota kabupaten Blora sendiri terletak di cekungan Pegunungan Kapur Utara.
Separuh dari wilayah Kabupaten Blora merupakan kawasan
hutan, terutama di bagian utara, timur, dan selatan. Dataran rendah di bagian tengah umumnya merupakan areal
persawahan.
Sebagian besar wilayah Kabupaten Blora merupakan daerah krisis
air
(baik untuk air minum maupun untuk irigasi) pada musim kemarau,
terutama di daerah pegunungan kapur. Sementara pada musim penghujan,
rawan banjir longsor di sejumlah kawasan.
Kali Lusi
merupakan sungai terbesar di Kabupaten Blora, bermata air di Pegunungan
Kapur Utara (Rembang), mengalir ke arah barat melintasi kota Purwodadi
yang akhirnya bergabung dengan
Kali Serang.
Lahan pertanian di Kabupaten Blora
Jalan daerah di Kabupaten Blora
 |
| hutan jati di kabupaten blora |
|
 |
| pemanfaatan lahan hutan dengan padi gogo di Kabupaten Blora | | | |
|
Sejarah Blora
Asal Usul Nama Blora
Menurut cerita rakyat Blora berasal dari kata BELOR yang berarti
lumpur, kemudian berkembang menjadi mbeloran yang akhirnya sampai
sekarang lebih dikenal dengan nama BLORA.
Secara etimologi Blora berasal dari kata WAI + LORAH. Wai berarti air, dan Lorah berarti jurang atau tanah rendah.
Dalam bahasa Jawa sering terjadi pergantian atau pertukaran huruf W
dengan huruf B, tanpa menyebabkan perubahan arti kata. Sehingga seiring
dengan perkembangan zaman kata WAILORAH menjadi BAILORAH, dari BAILORAH
menjadi BALORA dan kata BALORA akhirnya menjadi BLORA.
Jadi nama BLORA berarti tanah rendah berair, ini dekat sekali dengan pengertian tanah berlumpur.
Blora Era Kerajaan di bawah Kadipaten Jipang
Blora di bawah Pemerintahan Kadipaten Jipang pada abad XVI, yang pada
saat itu masih di bawah pemerintahan Demak. Adipati Jipang pada saat
itu bernama Aryo Penangsang, yang lebih dikenal dengan nama Aria Jipang.
Daerah kekuasaan meliputi:
Pati, Lasem, Blora, dan Jipang sendiri. Akan tetapi setelah Jaka
Tingkir (Hadiwijaya) mewarisi takhta Demak, pusat pemerintahan dipindah
ke Pajang. Dengan demikian Blora masuk Kerajaan Pajang.
Blora di bawah Kerajaan Mataram
Kerajaan Pajang tidak lama memerintah, karena direbut oleh Kerajaan
Mataram yang berpusat di Kotagede Yogyakarta. Blora termasuk wilayah
Mataram bagian Timur atau daerah Bang Wetan.
Pada masa pemerintahan Paku Buwana I (1704-1719) daerah Blora
diberikan kepada putranya yang bernama Pangeran Blitar dan diberi gelar
Adipati. Luas Blora pada saat itu 3.000 karya (1 karya = ¾ hektar). Pada
tahun 1719-1727 Kerajaan Mataram dipimpin oleh Amangkurat IV, sehingga
sejak saat itu Blora berada di bawah pemerintahan Amangkurat IV.
Blora di Zaman Perang Mangkubumi (tahun 1727–1755)
Pada saat Mataram di bawah Paku Buwana II (1727-1749), terjadi
pemberontakan yang dipimpin oleh Mangku Bumi dan Mas Sahid, Mangku Bumi
berhasil menguasai Sukawati, Grobogan, Demak, Blora, dan Yogyakarta.
Akhirnya Mangku Bumi diangkat oleh rakyatnya menjadi raja di Yogyakarta.
Berita dari Babad Giyanti dan Serat Kuntharatama menyatakan bahwa
Mangku Bumi menjadi raja pada tanggal 1 Sura tahun Alib 1675, atau 11
Desember 1749. Bersamaan dengan diangkatnya Mangku Bumi menjadi raja,
maka diangkat pula para pejabat yang lain, di antaranya adalah pemimpin
prajurit Mangkubumen, Wilatikta, menjadi Bupati Blora.
Blora di bawah Kasultanan Perang Mangku Bumi diakhiri dengan
perjanjian Giyanti, tahun 1755, yang terkenal dengan nama 'palihan
negari', karena dengan perjanjian tersebut Mataram terbagi menjadi dua
kerajaan, yaitu Kerajaan Surakarta di bawah Paku Buwana III, sedangkan
Yogyakarta di bawah Sultan Hamengku Buwana I. Di dalam Palihan Negari
itu, Blora menjadi wilayah Kasunanan sebagai bagian dari daerah
Mancanegara Timur, Kasunanan Surakarta. Akan tetapi Bupati Wilatikta
tidak setuju masuk menjadi daerah Kasunanan, sehingga beliau pilih
mundur dari jabatannya
Blora sebagai Kabupaten
Sejak zaman Pajang sampai dengan zaman Mataram, Kabupaten Blora
merupakan daerah penting bagi Pemerintahan Pusat Kerajaan, hal ini
karena Blora terkenal dengan hutan jatinya.
Blora mulai berubah statusnya dari apanage menjadi daerah kabupaten
pada hari Kamis Kliwon, tanggal 2 Sura tahun Alib 1675, atau tanggal 11
Desember 1749 Masehi, yang sampai sekarang dikenal dengan HARI JADI
KABUPATEN BLORA. Adapun Bupati pertamanya adalah WILATIKTA.
Perjuangan Rakyat Blora menentang Penjajahan
Perlawanan Rakyat Blora yang dipelopori petani muncul pada akhir abad
ke-19 dan awal abad ke-20. Perlawanan petani ini tak lepas dari makin
memburuknya kondisi sosial dan ekonomi penduduk pedesaan pada waktu itu.
Pada tahun 1882 pajak kepala yang diterapkan oleh Pemerintah Penjajah
sangat memberatkan bagi pemilik tanah (petani). Di daerah-daerah lain
di Jawa, kenaikan pajak telah menimbulkan pemberontakan petani, seperti
peristiwa Cilegon pada tahun 1888. Selang dua tahun kemudian seorang
petani dari Blora mengawali perlawanan terhadap pemerintahan penjajah
yang dipelopori oleh
Samin Surosentiko.
Gerakan Samin sebagai gerakan petani antikolonial lebih cenderung
mempergunakan metode protes pasif, yaitu suatu gerakan yang tidak
merupakan pemberontakan radikal bersenjata.
Beberapa indikator penyebab adanya pemberontakan untuk menentang kolonial penjajah Belanda antara lain:
Berbagai macam pajak diimplementasikan di daerah Blora
Perubahan pola pemakaian tanah komunal
Pembatasan dan pengawasan oleh Belanda mengenai penggunaan hasil hutan oleh penduduk
Indikator-indikator ini mempunyai hubungan langsung dengan gerakan
protes petani di daerah Blora. Gerakan ini mempunyai corak MILLINARISME,
yaitu gerakan yang menentang ketidakadilan dan mengharapkan zaman emas
yang makmur.
 |
| alun alun Kabupaten Blora sisi selatan |
|
| | | | | | | | | |
|
|
|
|
 |
alun alun Kabupaten Blora ( sisi timur )
Kesenian
Kesenian khas Blora adalah:
- Barongan Gembong Amijoyo
- Tayub
- Ketoprak ( Hampir Punah )
- Wayang Kulit
- Wayang Krucil ( hampir punah )
- Kentrung ( hampir punah )
Julukan
Karena Blora terdapat sate khas dengan bumbu khas Blora
Karena Blora adalah kota yang paling gencar melestarikan seni budaya Barongan
Potensi
Kuliner khas Blora
Makanan
Makanan khas Blora adalah:
Minuman
Minuman khas Blora adalah:
Tempat Wisata
Tempat pariwisata di Kabupaten Blora:
- Waduk Greneng, di Desa Tunjungan
- Goa Terawang, di Desa Kedungwungu
- Waduk Tempuran, di Desa Tempuran
- Waduk Bentolo, di Desa Tinapan
- Wisata Kereta Lokomotif[3], di Desa Cepu
- Pemandian Sayuran, di Desa Soko
- Taman Rekreasi Tirtonadi, di Desa Karangjati
- Taman Water Splash Sarbini, di Desa Tempuran
- Gunung Manggir, di Desa Ngumbul
- Ara-Ara Kesanga, di Desa Doplang
- Goa Sentono, di Desa Menden
Bahasa Jawa Blora
Bahasa Jawa Blora adalah salah satu dialek dalam bahasa Jawa, dituturkan di daerah Kabupaten Blora dan sekitarnya. Dialek Blora secara umum dipertuturkan diseluruh wilayah Kabupaten Blora, Kabupaten Rembang dan sebagian wilayah perbatasan dengan provinsi Jawa Timur seperti di Kabupaten Bojonegoro. Dialek ini juga digunakan oleh kelompok orang Samin yang tersebar di Kabupaten Blora, Kabupaten Bojonegoro, Kabupaten Tuban dan Kabupaten Pati.
Dialek ini sebetulnya tidak terlalu berbeda dengan dialek Jawa
lainnya, hanya terdapat beberapa istilah yang khas Blora, misalnya: nDak
iya "lèh"?? (kira kira artinya sama dengan "Masak iya sih"). Piye "lèh"
iki?? Kok "ogak" "mulèh-mulèh", malah dha neng ngisor "greng"?? Nèng
kéné hawané "anyep", wetengku wis "lesu". Wis ndang di"genjong", "engko"
selak masuk angin. Greng : dhompolan bambu; Ogak : ora = tidak; mulèh :
mulih : pulang; anyep : adhem : dingin; lesu : ngelih : lapar;
digenjong: diangkat/dibopong; engko : mengko : nanti;
Perbedaan
Beda dialèk Blora dengan dialek bahasa Jawa pada umumnya antara lain:
Akhiran "uh" jadi "oh". Contohnya:
abuh jadi aboh
butuh jadi butoh
embuh jadi emboh
ngunduh jadi ngundoh
suruh jadi suroh
sepuluh jadi sepuloh
utuh jadi utoh
Akhiran "ih" jadi "èh"[1] , contohnya:
batih jadi batèh
gurih jadi gurèh
kluwih jadi kluwèh
mulih jadi mulèh
sugih jadi sugèh
sapih jadi sapèh
putih jadi putèh
Akhiran "mu" jadi "em", yang artinya hak milik[2] , contohnya:
omahmu = omahem
klambimu = klambinem
anakmu = anakem
Istilah lainnya:
ambèk = karo
briga-brigi = bedhigasan
gendul = botol
jingklong = lemut = nyamuk
kelar = kuat (contohnya: ora kelar ngglewet = ora kelar obah)
lebi = tutup (lawange ndhang di lebi, selak jingklonge mlebu)
leket = lelet = lambat
lodhong = stoples
mèk =njupuk = mengambil
mèlok = mèlu
menga = ora ditutup (lawang)= terbuka
njuk = njaluk = minta
ndahnéya = ndahléya = "ora bakal klakon" = masak iya sih?
ndara ya = mestinya
ndhenger = mengerti
ngglewet = ngglawat, bergerak
pethitha-pethithi = briga brigi
penging = ora éntuk = dilarang
plekoto = paksa
sitok = sicok = siji = satu
suker = becek
biting = sodo = lidi
jeblok = pentong = berlumpur
gelok = toples
énjoh = kodak = iso = bisa
gablek = nduwe = punya
duwik = duit
wedhi = lemah = pasir
ceblok = jatuh
mbalek = pinter = pandai
mbiluk = pinter banget= pandai sekali
ampo = panganan soko lempung [ marahi gegelen ,marahi ngising angel ]
suwal = sruwal = kathok = clono=celana
Badhokan = Pakanan = makanan
Gathot = ( Pakanan nggawene teko Gebingan (Ubi yang di jemur) (marahi mendem)
Krembal = Adah sego
Daringan = Adah Beras
Cethot = Jajan pasar
Limpang - limpung = Pakanan soko menyok (ubi)
Sandhulog = Pakanan teko menyok njerone ono gulone
Goyang goyang = pakanan soko bedhekan
Slamper = Kulite jagung sing bar di deplok
Tiwul = Pakanan teko menyok
Dumbeg = Pakanan teko bedhegan beras ,trus di adahi godong lontar
Tolok = Adahe pakanan nek ape ngemblok (melamar) nganten (pengantin)
Rinjing = Adahe pakanan nek ape ngemblok (melamar) nganten (pengantin)
Rengkek = Kanggo ngusungi tlethong ning tegal
Sangkek = Adah kanggo belonjo ning pasar
Dobos = Adah kanggo belonjo ning pasar
Kemprol = semprul (suka berbohong)
Kakekane = (Kata kata cacian)
 |
|
|
 |
| bersama mbah Lasio, warga Karangpace, ds Klopoduwur, kec Blora, kab Blora |
|
|
|
 |
|
| SEDIKIT GAYA YA MBAH? |
|
|
|
|
|
 |
| masuk koran 2 | | |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
 |
| Keluarga Kecil 2 anak cukup |
|
 |
berbagai pose 1
 |
| berbagai pose 2 |
|
|
|